
(Sumber : www.cnnindonesia.com)
Indonesia masih menunjukkan ketergantungan yang signifikan pada impor dari China, khususnya untuk komoditas non-minyak dan gas (non-migas). Meskipun terjadi penurunan impor bulanan pada September 2024, China tetap menjadi sumber impor terbesar bagi Indonesia. Data ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi sumber impor untuk mengurangi risiko ketergantungan pada satu negara.
Menurut Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, impor non-migas dari China mencapai US$5,98 miliar pada September 2024. Angka ini mencakup 36,68% dari total impor Indonesia. Namun, terdapat penurunan dibandingkan Agustus 2024 yang mencatatkan angka US$6,43 miliar. Penurunan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti fluktuasi permintaan, perubahan harga komoditas, atau faktor musiman.
Selain China, Indonesia juga mengimpor dari negara lain, meskipun dengan porsi yang jauh lebih kecil. Jepang menempati urutan kedua dengan impor non-migas sebesar US$1,23 miliar (7,58% dari total impor), sedikit meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu (US$1,21 miliar). Amerika Serikat (AS) menyusul dengan impor sebesar US$830 juta (5,09%), menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu (US$68 juta). Peningkatan impor dari AS ini patut dicermati lebih lanjut untuk melihat tren dan komoditas yang terlibat.
Impor dari wilayah ASEAN tercatat sebesar US$83 juta (18,27% dari total impor), menunjukkan pentingnya perdagangan intra-regional bagi Indonesia. Impor dari Uni Eropa mencapai US$1,09 miliar (6,72%), dan sisanya berasal dari negara-negara lain dengan total US$4,18 miliar (25,66%). Diversifikasi sumber impor ini penting untuk menjaga stabilitas pasokan dan mengurangi dampak gejolak ekonomi global.
Secara keseluruhan, kinerja impor Indonesia pada September 2024 mencapai US$18,82 miliar, mengalami penurunan 8,91% secara bulanan (month-to-month/MtM) dibandingkan Agustus 2024 yang mencapai US$20,67 miliar. Penurunan ini terjadi baik pada impor migas (turun 4,53% MtM menjadi US$2,53 miliar) maupun non-migas (turun 9,55% MtM menjadi US$16,30 miliar). Penurunan impor ini dapat diinterpretasikan sebagai indikasi penurunan permintaan domestik atau perlambatan aktivitas ekonomi.
(Sumber Artikel : https://nasional.kontan.co.id/)